0 Komentar

Untuk Anda yang ingin mendownload filenya lengkap, silahkan klik link dibawah ini!
Download Makalah Filsafat Pendidikan (Aliran Esensialisme)

Download Makalah Lain :

Analisis Terhadap Psikologi Agama

Pengaruh Psikologi Agama Terhadap Perilaku Peserta Didik

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Power Point

BAB I
PENDAHUUAN
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran,  seperti aliran Esensialisme. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun aliran Esensialisme dalam filsafat pendidikan akan kita bahas pada makalah ini.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance  dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.perbedaan yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas,terbuka untuk perubahan,toleran,dan tidakada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme.esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikiran modern.esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan.maka disusunlah konsep yang menyeliruh mengenai manusia dan alam semesta yang memenuhi tuntutan zaman.

Dari perkembangan pemikiran para filosof yang berbeda dalam menanggapi segala sesuatu, maka muncullah berbagai macam karakteristik pemikiran – pemikiran yang kemudian menjadi sebuah ciri khas dari seorang filosof sebagai hasil pemikiran tertinggi. Sejarah mencatat bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat terdapat berbagai macam perbedaan yang jelas dari masing – masing tokoh filsafat.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Munculnya Aliran Esensialisme
Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaan ini terutama dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada landasan demikian mudah goyah dan kurang terarah. Oleh sebab itu esensialisme berpandangan bahwa pendidikan hendaknya berpijak pada nilai-nilai  yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas (Zuhairini, 1995: 25).
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Maka konsep-konsepnya tentang pendidikan sedikit banyak diwarnai oleh konsep-konsep idelisme dan realisme.[1]
Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsafat ini terutama yang hidup pada zaman klasik, yaitu Plato, Aristoteles, Democritus.[2]
B.       Hakikat Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-cirinya yang berbeda dengan progresivisme. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Idealisme dan realisme adalah aliran yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, namun tidak melebur menjadi satu dan tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing.[3]
C.      Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialime adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Dengan kata lain, bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialime semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialime menerapkan berbagai pola idealisme dan realisme.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif.  Realisme objektif mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam dan tempat manusia didalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan tata yang khusus. Dengan demikian, suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, salah satunya adalah daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
D.      Pandangan Mengenai Epistemologi
Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah  sasaran pandangan dengan penelaahan bahwa manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini bersendikan pada pengertian bhwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Bersendikan prinsip di atas dapatlah dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran psikologi: asosianisme, behaviorisme,dan koneksionisme.
Asosianisme, yang berasal dari buah pikir beberapa filsuf Inggris ini, mengutarakan bahwa gagasan atau isi jiwa itu terbentuk dari asosiai unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai atom-atom dari jiwa.
Behaviorisme, mengemukakan konsep yang dapat mengatasi kesederhaan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkan tingkah laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidupmental. Dikatakan, bahwa usaha untuk memahami hidup mental seseorang berarti harus memahami organisme dan masalah pengetahuan(yang ditangkap oleh manusia) tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi.
Koneksionisme, sebagai gerakan ketiga, empunyai konsep-konsep yang bersifat meningkatkan pandangan dari behaviorisme. Dikatakan bahwa manusia, dalam hidupnya, selalu membentuk tata jawaban dengan jalan memperkuat atau memperlemah hubungan antara stimulus dan response. Disamping itu juga menunjukkan dalam hal belajar ini perasaan yang dimiliki oleh manusia mempunyai peranan terhadap berhasil tidaknya belajar yang ia lakukan.[4]
E.       Pandangan Mengenai Aksiologi
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber objektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek perikehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai pada umunya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini:
Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap sikap subjek tersebut.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh, komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh, temperamen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok bila dipakai oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.[5]
F.       Pandangan Mengenai Belajar
Idelisme, sebagai filsafat hidup, melalui tinjauannya mengenai pribadi individual dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan di atas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indra memerlukan unsur yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan.
Dengan mengambil landasan pikir di atas, belajar dapat didefinisikan sebagai-jiwa yang berkembang pada sendinya, jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Pandangan realisme mengenai belajar, tercermin antara lain pada pandangan ahli-ahli psikologi, diantaranya seperti pandangan-pandangan dari Edward L. Thorndike pendukung aliran koneksionisme. Koneksionisme mendekati studi mengenai manusia dengan pengurangan sampai pada sifat-sifat mekanistis kuantitatif. Ini tercermin antara lain dalam teori Sarbon. Berarti bahwa belajar itu tidak lain adalah mengadakan penyesuaian dengan yang ada.
Seorang filsuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Jadi belajar adalah menerima dan mengenai dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya.[6]
G.      Pandangan Esensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaknya berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan inilah kegiatan pendidikan dilakukan.
Kurikulum, menurut Herman Harrel Horne, hendaknya bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditunjukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini, kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Menurut Bogoslousky, selain ditegaskan dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya, kurikulum juga dapat diiibaratkan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian.
Pertama, universum. Pengetahuan merupakan latar adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tat surya, dll. Basis pengetahuan ini adalah ilmu penegtahuan kodrat yang diperluas.
Kedua, sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi, manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan serta hidup aman dan sejahtera.
Keempat, kepribadian. Pembentukan kepribadian dalam arti riil yang bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaknya diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
H.      Peranan Esensialisme sebagai Pemeliharaan Kebudayaan.
Karena prinsip utama dan watak dari esensialisme ialah semangat ingin kembali kepada warisan kebudayaan masa silam yang agung dan ideal. Maka pendidikan baginya ialah sebagai pemeliharaan kebudayaan yang ada.
Esensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga dan praktek-praktek kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaan, harus diusahakan melalui pendidikan.
Secara sadar esensialisme, memelihara kebudayaan warisan secara bijaksana dan dengan efektif melalui dua cara:
Pertama, percaya pada praktek-praktek, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga-lembaga yang telah terbina dan terpuji.
Kedua, mengembangkan kesadaran atas dalil-dalil, kebenaran-kebenaran, hukum-hukum, dan asas yang ada dibawah praktek, kebiasaan dan lembaga-lembaga yang telah ada dan terbina.[7]
I.         Prinsip – prinsip pendidikan yang didasarkan pada aliran Esensialisme
1.         Belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras dan kadang – kadang dapat menimbulkan keseganan dan menekankan pentingnya prinsip disiplin. Terhadap pandangan progresivisme yang menekankan minat pribadi, mereka menerimanya sebagai konsep untuk berbuat namun minat yang paling tinggi dan dapat lebih bertahan tidak diperoleh sejak awal atau sebelum belajar namun timbul melalui usaha keras.
2.         Inisatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan guru dalam menjebatani antara duni orang dewasa dengan dunia anak. Guru telah disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas di atas sehingga guru lebih berhak membimbing murid – muridnya.
3.         Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Esensialisme mengakui bahwa pendidikan akan mendorong individu merealisasikan potensialitasnya tetapi realisasinya harus berlangsung dalam dunia yang bebas dari perorangan. Karena itu sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat kepada masyarakat atau “Society Centered School” sebab kebutuhan dan minat sosial diutamakan. Minat individu di hargai namun diarahkan agar siswa tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri.
4.         Sekolah harus mempertahankan metode – metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental. Esensialisme mengakui bahwa metode pemecahan masalah “Problem Soving” ada faedahnya, namun bukan suatu prosedur untuk melaksanakan bagi seluruh proses belajar.
5.         Tujuan akhir dari pendidikan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena dianggap merupakan tuntunan demokrasi yang nyata.






















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaa-kebudayaan warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan- kebaikannya bagi kehidupan manusia. Dasar dari aliran ini adalah pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian serba ilmiah dan matrealistik, selain itu juga diwarnai oleh pandangan konsep-konsep idealisme dan realisme.
Esensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga dan praktek-praktek kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaan, harus diusahakan melalui pendidikan
Aliran esensialisme berpendapat mengenai Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Minat Belajar, dan Kurikulum.










DAFTAR PUSTAKA

Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Barnadib, Imam. 2013. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Khobir, Abdul. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Idi, H. Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

 




[1] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm. 54.
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 261.
[3] H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan  (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hlm.
[4] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 52-54.
[5] Ibid., hlm. 55-56.
[6] Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 61-62.
[7] Mohammad Noor Syam, Op.Cit., hlm. 292-293.

Post a Comment

 
Top