0 Komentar
Untuk anda yang ingin mendownload filenya berbentuk (.docx)
Silahkan klik link di bawah ini!.

PENDAHULUAN
           
            Pendidikan merupakan salah satu investasi sumber daya manusia yang diharapkan dapat mengubah kehidupan suatu bangsa kearah yang lebih baik. Sebagai sosial investment yang berhajat meningkatkan sumber daya manusia, tentunya pendidikan yang berlangsung di Indonesia tidak semata diharapkan berhasil dalam memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi berikutnya, tetapi juga dapat memperbaiki nasib dan kualitas peradaban orang- orangnya.

            Pendidikan memang merupakan proses dan upaya manusia untuk mengembangkan segenap potensinya agar menjadi pribadi yang seimbang jasmani dan ruhani. Tanpa pendidikan, jangan harap manusia sekarang berbeda kualitasnya dengan manusia zaman dulu yang sangat tertinggal, baik kualitas kehidupan maupun capaian dari proses-proses perancangan masa depanya. Dengan kata lain, maju mundurnya sebuah peradaban bangsa akan ditentukan bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakatnya.


























PEMBAHASAN

      A.    Riwayat Hidup Ibnu Sina
       Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husayn ibn Abdullah, dalam sejarah pemikiran Islam Ibn Sina dikenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar, ia lahir pada 370 H. Bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak dekat Bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balk, Khurasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur di salah satu pemukiman, sekarang wilayah Afganistan ( dan juga Persia) menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
       Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Ibnu Sina dididik di bawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandainnya segera membuatnya menjadi kekaguman antara para tetangganya, dia menampilkan suatu  pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandainnya yang telah menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia.
       Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
       Dia mempelajari kedokteran pada usia 16 tahun, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitunganya sendiri, menemukan metode-metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa kedokteran bukanlah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika sehingga ia cepat memperoleh kemajuan, ia menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien menggunakan obat-obat yang sesuai, dan dia merawat pasien tanpa meminta bayaran.[1][1]
       Sebagai seorang ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan karya ilmiah berupa buku karangan sebanyak 276 buah. Diantara karya besarnya adalah berupa ensiklopedi tentang fisika, logika, dan matematika.[2][2]
       Ibnu Sina meninggal pada tahun 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun. Pada akhir-akhir kehidupannya ia menjadi guru filsafat dan kedokteran di Isfahan. Dan pada bulan-bulan menjelang kematiannya ia sering berpakaian putih, menyedekahkan hartanya, dan mengisi waktunya beribadah kepada Allah.
       Kematian Ibnu Sina disebabkan oleh serangan penyakit colic (muntah-muntah). Adapun faktor yang mempercepat ancaman penyakitnya adalah sebagai berikut :
1.      Memakai tenaga habis-habisan.
2.      Besarnya nafsu syahwat yang dimilikinya.
3.      Terlalu banyaknya candu yang dimasukkan oleh pelayannya ke dalam obat yang harus diminumnya.[3][3]
       Jenazah Ibnu Sina dimakamkan di bawah pagar benteng Hamadan yang menghadap ke kiblat kemudian dipindah ke Isfahan di pintu kota yang bernama “keunkanaad” dimana Ibnu Sina perang disambut besar-besaran saat pertama kali ia datan ke kota tersebut.
            Diantara filosof-filosof muslim,barangkali Ibnu Sina termasuk orang yang paling banyak menumpukkan perhatian pada psikologi dan membicarakan berbagai topik dibahasnya tentang pengamatan indra yang dibaginya kepada 2 bagian yaitu indra nyata dan indra batin.[4][4]

B.     Setting Sosial
       Ibnu Sina lahir di masa kekacauan, dimana kholifah Abasiyah mengalami kemunduran, negeri-negeri yang ada di bawah kekuasaannya mulai melepaskan satu persatu. Kemudian membentuk kekuasaan atau kerajaan baru.
       Transoxiana adalah salah satu kota yang melepaskan diri dan membentuk kekuasaan baru di bawah kekuasaan Bani Samaniyah dengan Raja pertamanya Nuh bin Mansur. Kekuasaan Bani Samaniyah berlangsung sangat singkat dari tahun 361-381 H.
       Pada saat tahta kerajaan dipegang oleh Nuh bin Mansur rakyat hidup aman, demikian dengan situasi di dalam istana. Namun sepeninggal Nuh bin Mansur, situasi di istana mulai kacau. Di sana terjadi perang saudara antara Mansur dan Malik. Mereka saling berebut kekuasaan sehingga Mansur berhasil dipenjara, disiksa dan dicukil matanya. Peristiwa perang saudara yang saling berebut kekuasaan itu berlangsung selama 1 tahun 7 bulan. Di tengah kekacauan datang tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Illah Khan pada tahun 389 H (997 M) yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Bani Samaniyah.
       Periode Samaniyah dalam sejarah Iran dan Transoxiana mengimbangi zaman Abbasiyah I dalam sejarah kebudayaan Arab. Tetapi jatuhnya kekuasaan Samaniyah yang disebabkan perkelahian dalam negeri, berebut kekuasaan dan perang saudara, berakhir di bawah tindasan penyerbuan tentara Turki. Semuanya itu menyebabkan berpindahnya pusat kebudayaan dan politik Iran ke Kota Ghazna di Afganistan di mana Subaktin (997 M) dan putranya Mahmud (1030 M)  membangun pemerintahan Ghaznawiyah.[5][5]
       Kekuasaan-kekuasaan kecil yang muncul di masa kemunduran Abbasiyah adalah Hamdzan di bawah kekuasaan Syamsud Daulah dan Isfahan di bawah kekuasaan Ala’ud Daulah.
       Di sisi lain periode ini mempunyai banyak keistimewaan mayoritas masyarakatnya bermadzhab Syi’ah. Latar belakang masyarakat yang bermadzhab Syi’ah dengan ciri khas yang mengutamakan proses berpikir secara rasional yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan peradaban pada masa itu.

C.    Teori
       Teori “abstraksi” adalah yang menjadi teorinya. Teori ini menjadi gambaran mengenai arah dan pola pikir beliau yang penuh dengan kekhasan pribadinya dibandingkan dengan pemikir-pemikir lainnya.
       Sesuai dengan tradisi Yunani yang universal, Ibnu Sina memberikan seluruh pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk memahami sesuatu yang dipahami. Penekanan utamanya adalah pada tingkat-tingkat daya abstraksi ini dalam pehaman yang berbeda-beda. Dengan deikian persepsi inderawi memerlukan sekali kehadiran materi untuk bisa memahami, sedang imajinasi adalah bebas dari materi tetapi harus ada pelekatan-pelekatan atau kejadian-kejadian materi yang memberikan kekhususannya kepada imajinasi. Sedangkan dalam akal bentuk murni dipahami secara universal.
       Tujuan Ibnu Sina menjelaskan teori di atas adalah untuk menghindari keberatan persepsi. Ia memandang persepsi secara representatif. Namun setelah mendapat kritik dari skeptisme dan relativisme yang menunjukkan relatifitas kualitas-kualitas yang terserap, pandangannya menjadi termodifikasi dan akhirnya menerima pandangan kausal-semu atau relasional tentang kualitas-kualitas persepsi.
       Kunci utama doktrin Ibnu Sina tentang persepsi adalah pembedaannya antara persepsi eksternal dan internal. Persepsi eksternal adalah kerja dari panca indera eksternal, persepsi ini dibagi menjadi 5 dengan tujuan memisahkan fungsi yang berbeda secara kualitatif. Demikian indera internal dibagi menjadi lima antara lain sensus communis, indera imajinatif, nalar, faham, dan niat.



D.    Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan
1.      Tujuan Pendidikan
       Menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembanganya yg sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti selain itu harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.
       Khusus pendidikan jasmani, ia mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yg berkaitan dengannya, seperti olah raga, makan, minum, tidur, dan menjaga kebersihan. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan sehari-hari. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya.

2.      Kurikulum
       Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum  merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Diantaranya definisi yang dikemukakan oleh Abdurrahman Al-Nahlawi, yaitu seluruh program pendidikan yang didalamnya mencakup masalah-masalah, metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik- topik pelajaran serta aktivitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi pelajaran. Menurut Crow & Crow yang dimaksud dengan kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Kurikulum disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dan belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.
       Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Pelajaran olah raga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, penddikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dengan pendidikan seni suara dan kesenian, si anak diarahkan agar memiliki  ketajaman perasaan dalam mencintai dan meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
       Selanjutnya, kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Quran, pelajaran agama, pelajaran syair  dan pelajaran olah raga, pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguru disamping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir Al-Quran, fiqih, tauhid, akhlak, dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-Quran. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal  Al-Quran juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai Al-Quran berarti ia telah menguasai kosakata bahasa arab atau bahasa Al-Quran.[6][6]
       Selanjutnya, menyangkut kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas, menurut Ibnu Sina, mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan sianak. Dengan cara demikian si anak akan meiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat mengembangkan lebih lajut oleh muridnya.
       Strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga berdasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat atau berorientasi pasar. Dengan cara demikian setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat.

3.      Metode Pengajaran
       Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu  memperbincangkan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologisnya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijadikan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
       Penyampaian materi pelajaran pada anak didik harus disesuaikan dengan sifat dari mata pelajaran tersebut. Dengan demikian, antara metode dan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang dan penugasan. Metode talqin digunakan untuk mengajarkan membaca Al-Quran kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
       Selanjutnya, mengenai metode demonstrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar, menulis. Menurutnya, jika seorang guru akan memrpergunakan metode tersebut maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah dihadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
       Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian di atas. Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suat masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
       Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktik di ruang kelas untuk mempelajai teori dan hari berikutnya mempraktikkan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan. Selanjutnya metode penugasan yaitu agar penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.[7][7]
       Dari keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut terdapat empat ciri penting. Pertama uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari Ibnu Sina terhadap keberhasilan pengajaran. Kedua, setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam perspektif kesesuaianya dengan bidang studi yang diajarkanya serta tingkat usia peserta didik. Ketiga metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik. Keempat, metode yang ditawarkan Ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Ciri- cirri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.

4.      Konsep guru
       Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun dan suci murni. Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dam menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, tlaten dalam membimbing anak-anak, adil hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak- anak.
       Tugas seorang guru dalam mendidik tidaklah mudah. Sebab, pada hakikatnya tugas  pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yg baik dan sifat-sifat  yg baik menjadi faktor utama guna mencapai kebahagiaan anak. Oleh karena itu, orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak  meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.
       Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapat itu, Ibnu Sina tidak saja menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, tetapi juga kepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5.      Konsep  hukuman dalam pengajaran
       Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun, dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar, dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah, Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman. Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.
       Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang extra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal hukuman tidak boleh  dilakukan. Sikap humanistik ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan dan sebagainya.[8][8]

E.     Relevansi Pendidikan Ibnu Sina dengan Dunia Pendidikan Saat Ini
       Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah kemandirian dalam mengemban beban hidup dan memberi kemanfaatan kepada masyarakat, dengan jalan membina tiap anggota masyarakat dengan pekerjaan mereka yang baik. Implikasi pemikiran Ibnu Sina adalah apabila anak sudah cukup cakap dalam bidang keahliannya maka ia harus diberi lapangan usaha dan dibimbing untuk hidup dari kepandaian.
       Inti pemikiran dari Ibnu Sina adalah membentuk insan yang kamil (sempurna), insan yang jasmani dan rohaninya berkembang dengan baik.













PENUTUP

       Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husayn ibn Abdullah, Ia lahir pada 370 H. Bertepatan dengan tahun 980 M,di Afshana, suatu daerah yang terletak dekat Bukhara, dikawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah, seorang sajana terhormat Ismaili, berasal dari Balk, Khurasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur disalah satu pemukiman, sekarang wilayah Afganistan ( dan juga Persia) menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
       Ibnu Sina meninggal pada tahun 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun. Jenazah Ibnu Sina dimakamkan di bawah pagar benteng Hamadan yang menghadap ke kiblat kemudian dipindah ke Isfahan di pintu kota yang bernama “keunkanaad” dimana Ibnu Sina perang disambut besar-besaran saat pertama kali ia datan ke kota tersebut.
































DAFTAR PUSTAKA


Kurniawan,Syamsul & Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh  Pendidikan. Jogjakarta: ar-ruzz media

Langgulung,Hasan.1998. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: PT al-ma’arif

Ramayulis&Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam/Mengenal

Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Ciputat: quantum teaching

Sholehuddin,Sugeng. 2010. Reiventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam.  Pekalongan: STAIN Press



























       [1][1]Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Cet. Ke-1, (Jogjakarta: ar-ruzz media, 2011), hlm. 75-76
       [2][2] Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam/Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Cet. Ke-1, (Ciputat: quantum teaching, 2005), hlm. 31
[3][3] M. Sugeng Sholehuddin, Reiventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm.27
       [4][4] Hasan langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. al-m a’arif, 1998), hlm. 99
       [5][5] M. Sugeng Sholehuddin, Op.Cit, hlm. 28-29
       [6][6] Syamsul  Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op.Cit, hlm.79-81
       [7][7] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op.cit, hlm.82-84
       [8][8] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Op. Cit, hlm.85-86

Post a Comment

 
Top