0 Komentar
Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.

BAB I
PENDAHULUAN
            Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen, berbagai kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana sehausnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakan dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara pandang dalam menyikapi dan mempererlakukan anak yang mengalami terus perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak. Menurut ajaran islam anak adalah amanah Allah dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa dipelakukan sekehendak hati oleh orang tua sebagai amanah anak harus  dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya yaitu oang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun.

            Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuahan anak mnunjukan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan kelengkapan dasa pada dirinya baru mulai mencapai kematangan hidup  seiring perkembangan manusia. Dalam makalah ini sendiri akan memapakan mengenai kedudukan anak dalam pekawinan dan kewajiban dan hak orang tua dalam memelihara anak serta macam-macam wali dan konsekuensi hukum perkawinan.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Anak
1.      Anak yang sah
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan didalam atau sebagai suatu akibat perkawinan yang sah.[1][1] seorang suami dapat mengingkari seorang anak jika:
a.       anak itu dilahirkan kurang dari tenggang waktu yang ditentukan, yaitu sebelum hari yang keseratus delapan puluh semenjak perkawinan dilangsungkan.[2][2]
b.      suami dapat membuktikan bahwa sejaktigaratus sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahrnya anak itu, baik karena perpindahan atau secara kebetulan,ia berada didalam tidak kemungkinan yang nyata untuk bersetubuh dengan istrinya.
c.       suami dapat membuktikan bahwa istrinya melakukan zinah dan anak itu sebagai akibat dari perbuatan itu.
d.      anak yang  dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan mutlak.
e.       anak itu dilahirkan setelah tigaratus hari perkawinannya dibubarkan.
Didalam undang-undang islam mengenal juga tenggang waktu seratus delapan puluh haridalam menentukan kesahan seorang anak. Akan tetapi disebutkan bukan  dengan hari, melainkan dengan bulan yaitu enam bulan (tetapi hendaknya diperhatikan bahwa perbedaan dalam jumlah hari mungkin saja terdapat). Dalam perkawinan yang terputus dalam halitu yaitu selama pada masa ida (empat bulan sepuluh hari).[3][3]
Hukum adat tidak mengenal adanya tenggang waktu tersebut. Walaupun anak itu lahir dalam jangka waktu yang pendek, anak itu tetap merupakan anak mereka.[4][4] sebagai bukti kebenaran anggapan ini, dilingkungan masyarakat yang tunduk kepada hukum adat sering terjadi “kawin tambal”, yaitu perkawinan yang tujuanya semata-mata  agar anak yang dikandung mempunyai ayah pada waktu ia dilahirkan. perbuatan tersebut sesungguhnya untuk menutupi rasa malu orang tua sebagai akibat kelakuan anaknya diluar batas. Karena banyak terjadi perkawinan tambal itu dilakukan bukan dengan laki-laki yang menghamilinya, begitu selesai perkawinan atau anak itu lahir,mereka kemudian bercerai  walaupun tidak dapat diingkari bahwa banyak juga perkawinan semacam itu yang memperoleh kebahagiaan.
2.      Anak yang tidak sah
Anak yang lahir di luar perkawinan (nikah) atau dilahirkan setelah jangka waktu tertentu sejak perkawinan itu terputus, dianggap anak yang tidak sah. Anak yang demikian itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pengankuan anak yang diluar nikah dapat dilakukan dengan jalan perkawinan diantara ayah dan ibunya dan dinyatakan dalam akte perkawinan atau dalam akte autentik tersendiri.  sebagaimana juga pengakuan, pengesahan anak hanya mungkin dilakukan terhadap anak-anak diluar nikah yang bukan dibenihkan karena zinah.  Pengesahan itu dapatdilakukan dengan cara
a.       perkawinan ayah dan ibunya dengan syarat, sebelum perkawinan dilangsungkan, terlebih dulu anak itu diakui dalam akte tersendiri.pengesahan dilakukan dengan mencantumkan dalam akte perkawinan.
b.      pengesahan, yaitu jika ayah dan ibunya lalai untuk mengakui anak itu sebelum mereka kawin atau pada waktu perkawinan tidak mencantumkanya pada akte perkawinan mereka.pengesahan dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada presiden (dalam hal ini mentri kehakiman), dan jika memperoleh persutujuan, akan dikeluarkan surat pengesahan terhadap anak itu.
Akibat penting dari adanya pengesahan ini adalah kedudukan anak yang disahkan menjadi sama dengan anak yang sah. Pengesahan sebagaimana yang diatur didalam pasal 275 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang ibu bumi putra, berlaku pada saat surat pengesahan diberikan oleh presiden (menteri kehakiman),dan pengesahan ini tidak akan merugikan anak yng sah dalam hal warisan, juga terhadap keluarga sedarah lainya kecuali kalau mereka yang tergolong terahir ini memberikan persetujuanya.
B.     Hak dan Kewajiban Memelihara Pemeliharaan Anak
Menurut ulama fiqih hadanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,baik anak laki-laki maupun anak perempuan atau yang sudah besar tepi belum Mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menyakiti dan menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang  menyakiti dan merusaknya,mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikultanggung jawabnya.[5][5]
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan barbagai aspek kebutuhan primer dan skunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketenteraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhanya. Dalam ajaran islam diungkapkan bahwa tanggungjawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya  bila suami tidak mampu melaksanakan  kewajibanya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memelihaa anak sampai dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. KHI menjelaskan sebagai beikut:
Pasal 98 KHI
(1)        Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tesebut tidak bercacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)        orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
(3)        pengadilan agama dapat menujuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua  adalah menghantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka dihari dewasanya. Secara khusus Al-Qu’an menganjurkan kepada ibu aga menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia 2 tahun). Namun Al-Qur’an juga mengisyaratkan kepada ayah atau ibu supaya melaksanaan kewajibannya berdasarkan kemampuanya, dan sama sekali Al-Qur’an  tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anaknya. Apabila oang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada keluarganya (Surah Al-Baqarah (2) ayat 233).
Selain itu, hak anak terhadap orangtuanya adalah anak mendapat pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan keterampilan, dan mendapatkan rezeki halal. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad sebagai beikut.
حق الو لد علي و ا لد ا ن يعلمه ا لكتا بة و ا لسبا حة و ا لر ما ية و ان لا ير زقه الا طيبا (ر و ا ه ا لبيهقي)
Artinya:”Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah mendapat pendidikan       menulis, renang, memanah, dan mendapat rezeki  yang halah”.
berdasarkan hadist tersebut, pasal 45,46, dan 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan membuat garis hukum sebagai berikut:
Pasal 45
(1)   Kedudukan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)   kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri ,kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46
(1)   anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendakmereka yang baik.
(2)   jika anak lebih dewasa, dia wajib memelihara menurut kemampuanya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila merekia itu memerlukan bantuanya
Pasal 47
(1)   anakyang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawahkekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
(2)   orang tua mewakili anak tersebut mengenai pembuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.[6][6]
C.     Perwalian
Berbeda dengan pengangkatan anak, soal perwalian terdapat peruntukanya di dalam undang-undang perkawinan. pasal-pasal yuang bersangkutan adalah pasal 50 Bab XI. Ketentuan yang sangat luas terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu dimulai dengan pasal 331 hingga pasal418 huruf (a). Latarbrlakang lengkapnya pengaturan tentang perwalian di dalamKitab Undang-undang ini tiada lain agar kepentingan anak yang berda dibawah perwalian tidak dirugiakan atau memperoleh jaminan yang cukup dari walinya, terutama perihal pemeliharaan diri dan pengurusan harta bendanya.
Undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekusaan wali.[7][7]Dan tentang siapa yang berhak menjadi wali, Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa yang akan menjadi wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dunia, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi. Danjurkan agar orang yang akan ditunjuk sebagaiwali hendaknya berasal dari keluarga sendiri.
1.      Syarat-syarat untuk menjadi seorang wali
a.       Sudah dewasa
b.      Sehat pikiranya
c.       Jujur
d.      Berkelakuan baik
2.      Tugas dan kewajiban seorang wali
a.       Wali wajib mengurus anak yang berda dibawah kekuasaanya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu
b.      Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaanya pada waktu memulai jabatanya dan mencatat semua perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
c.       Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwalianya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalainya.
d.      Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki oleh anak yang berada dibawah perwalianya kecuali jika kepentingan anak mengharuskanya.
3.      Macam-macam perwalian
a.       perwalian oleh ayah dan ibunya
Jika salah seorang dari orang tua anak itu meninggal dunia, yang masih hidup akan bertindak sebagai wali anak itu.
b.      Waliyang diangkat oleh ayah dan ibunya
Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetapkan bahwa masing-masing orangtua yang melakukan kekuasaan oran tua atau wali bagi sorang atau lebih anaknya berhak mengankat wali bagi anak-anaknya. Dan pengangkatannya berdasarkan wasiat atau akte notaris.
c.       Wali yang dilantik oleh pengadilan
Wali seperti ini adalah waliu yang dilantik oleh pengadilan dalam hal anak yang bersangkutan tidak bernaung dibawah kekuasaan orang tua atau tidak berda dalam perwaliaan yang sah.
d.      Wali yang berupa Perhipunan, Yayasan, atau Lembaga-lembaga Sosial
Perwalian semacam ini juga harus dilakukan melalui keputusan pengadilan negeri. biasanya perhimpunan yang ditentukan statusnya berbadan hukum yang dalam anggaran dasarnya bergerak dalam bidang pemeliharaan anak dibawah umur untukwaktu yang lama. Bagi yayasan-yayasan atau lembaga-lembaga sosial ditentukan persyaratan-persyaratan yang sama dengan perhimpunan tadi
e.       Wali pengawas
Tugas sebagai wali pengawas diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan yang dilakukan oleh orang-orang atau badan-badan hukum, yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga soaial lainya yang berada di wilayah kekuasaanya.




























BAB III
PENUTUP

A.    Kedudukan anak dalam perkawinan
a.       anak sah
b.      anak tidak sah
B.     Hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak adalah suatu kewajiban yang hrus dilakukan orangtuanya terhadap anak-anaknya baik darin segi materiil maupun non materiil.
C.     perwalian
a.       Perwalian yang dilakukan ayah dan ibu
b.      Wali yang diangkat oleh ayah dan ibu
c.       Wali yang dilantik oleh pengadilan negeri
d.      Wali yang berupa Perhimpunan, Yayasan, atau Lembaga-lembaga sosial lainya
e.       Wali pengawas















Daftar Pustaka
Abidin,Slamet.dkk.1999.Fiqih Munakahat.Bandung: CV Pustaka Setia
Ali,Zainuddin.2006.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Media Grafika
Rasjidi.1991.Hukum Perkawinan dan Perceraian. Bandung:PT Remaja Rosdakarya







[1][1] Lihat pasal 42 undang-undang perkawinan. lihat juga pasal250 kitab undang-undang hukum perdata
[2][2] pasal 251 kitab uandang-undang hukum perdata
[3][3]ibid
[4][4]R.Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indinesia, hlm 73
[5][5] Drs.Slamet Abidin,dkk,Fiqih Munakahat,(Bandung:CV Pustaka Setia)hal 171
[6][6] Prof.Dr.H.Zenudin Ali,M.A,Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Media Grafika,2006)hal 64-66
[7][7] Lihat ayat (1) pasal 50 Undang-Undang perkawinan

Post a Comment

 
Top