0 Komentar
Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.

BAB II
PEMBAHASAN
1.       Biografi Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, gelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari kota Khurasan, Iran pada 450 H (1056 M).

Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya. [1]
Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mmpu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia mengnjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah sebagaimana lazimnya waktu itu. Antara tahun 465-470 H, Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, dan dari Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu ia kembali ke Thus , dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj (w.487 H). pada tahun 473 H, ia pergike Naisabur untuk belajar di madrasah Al-Nizhamiyah dengan Al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) sebagai tenaga pengajar. Dari Al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dam mantiq. Sebelum Al-Juwaini wafat, ia memperkenalkan Al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, perdana menteri Sultan Saljuk Maliksyah dan sekaligus sebagai pendiri madrasah-madrasah al-Nizamiyah. Di Naisabur ini, ia sempat belajar tasawuf kepada Abu ‘Ali al-fadhl ibn ‘Ali al-Farmadzi (w.477 H/ 1084 M).
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail, Al-Ghazali menjadi pembahas paling pintar di zamannya. Setelah gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nizhamal-Mulk dan ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama’ besar.  Pada tahun 484 H (1091 M) Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di Nizhamiyah, Baghdad selam kurang lebih empat tahun.

Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptic terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hokum, teologi, dan filasafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi).[2] Pekerjaannya kemudian ditinggalkannya pada tahun 484 H, untuk menuju Damsyik, dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.[3]Kemudian ia pindah ke Palestina untuk ibadah haji dan akhirnya ia pulang ke negeri kelahirannya, Thus. Keadaan skeptic Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode ini ia menulis karyanya yang terbesar Ihya’ ‘Ulum al-Din (The Revival of the Religious Sciences—Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Karena desakan penguasa Saljuk. Al-Ghazali kembali mengajar di Naisabur, dan berlangsung selama 2 tahun. Kemudian kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah biara (khangak) untuk para mutasawwifin. Dikota  ini ia wafat pada tahun 505 H (1111 M) dalam usia 54 tahun.
2.      Karya-karya  
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
1.      Maqashid al-falasifah
2.      Tahafut al-falasifah
3.      Mi’yar al-‘ilm
4.      Ihya ‘ulum al-Din
5.      Al-Munqidz min al-Dhalal
6.      Al-Ma’arif al-‘Aqliah, dan lain-lain[4]


3.      Pemikiran Filsafat Al-ghazali
a.      Epistimologi
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal, ia mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebeneran  yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan ini adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Tetapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta. Seperti bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil oleh mata, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.
Karena tidak percaya dengan panca indera, Al-Ghazali meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tidak dipercaya. Seperti sewaktu bermimpi, orang-orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu, sebetulnya tidak benar. yang Al-Ghazali cari adalah ‘ilm al-yaqini yang tidak mengndung pertentangan pada dirinya.
 Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kegelisahan, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian, secara tiba-tiba Tuhan memberikan “nur” atau kunci ma’rifat kepada hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawq (instuisi) lebih tinggi dan diyakini kebenarannya.
b.      Metafisika
Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platoisme Islam (Al-Farabi dan Ibnu Sina), dan secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru mereka. Menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalm bidang fisika). Ada 17 soal mereka  dinyataka sebagai ahl al-bida’, sedangkan 3 soal mereka dinyatakan sebagai kafir, karena bertentangan dengan semua kaum muslim.
20 persoalan yang dimaksud adalah:
1.      Alam qadim (tidak bermula)
2.      Keadilan (abadiah) alam, masa dan gerak
3.      Konsep Tuhan sebagai Pencipta alam dan bahwa la, adalah produk ciptaan-Nya, ungkapan ini bersifat metaforis
4.      Demonstrasi atau pembuktian eksistensi Penciptaan alam
5.      Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkinnya penggandaian dua wajib al wujud
6.      Penolakan atas sifat-sifat Tuhan
7.      Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan
8.      Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni tanpa kuiditas esensi
9.      Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10.  Argumen rasional tentang Sebab dan Penciptaan alam (hukum allam tak dapat berubah
11.  Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya, dan Tuhan mengetahui tentang spesies secara universal
12.  Pembuktian bahwa Tuhan mengrtahui diri-Nya sendiri
13.  Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum
14.  Langitadalah makhliuk hidup yng mematuhi Tuhan dengan gerak putaranya
15.  Tujuan yang menggerakkan langit
16.  Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah)
17.  Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristuwa
18.  Jiwa manusia adalah substansi spiritualyang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh, dan bukan tubuh
19.  Jiwa manusia setelah teerwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangjkan kehancurannya
20.  Penolakan terhadap kebangkitan jasmani

Tiga persoalan yang menyebabkan para filosof dipandang kafir adalah:
a.       Alam kekal (qodim) atau abadi dalam arti tidak berawal
b.      Tuhan tidak mengethui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di alam.
c.       Pengingkaran terhadap kebangktan jasmani (hasyr al-ajsad) diakhirat.
Alasan dan bantahan Al-Ghazali terhadap ketiga persoalan diatas:
1.      Tidak mungkin wujud yang hadis (baru), yaitu alam, keluar dari Qodim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qodim tersebut sudah ada, sedang alam belum lagi ada.
2.      Tuhan lebih dahulu daripada alam, bukan dari segi zaman, melainkan dari segi pribadi (tingkatan, zat), seperti terlebih dahulunya bilangan satu atas dua; atau dari segi kausalitasnya.
3.      Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya, untuk dapat dikatakan bahwa benda itu baru.


c.       Moral
Dalam karya-karya Al-Ghazali, persoalan akhlak belum menjadi masalah pokok. Akhlak merupakan bahan permikiran utama. Kebanyakan karya-karya akhirnya, etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Adapun teori etika yang dikembangkannya bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat dengan jelas penamaan Al-ghazali terhadap ilmu ini pada karya-karya akhirnya, setelah dia menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm akhlaq, tetapi dengan “ilmu jalan akhirat” (‘ilm thariq al-akhirat) atau jalan yang dialui para nabi dan leluhur saleh (al-salaf al-shalih). Ia juga menamakannya dengan “ilmu agama praktis” (‘ilm al-mu’amalah). [5]
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu (a) memperlajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang memperlajarinya; (b) memperlajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari; (c) karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan anak harus terdapat kritik yang terus meneru mengenai standar moralitas yang ada , sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. [6]
Filsafat moral Al Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lai, filsafat moral Al Ghazali adalah teori tasawufnya.[7]
Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat , puasa, dan haji, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa bagi Al Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalam permbersihan rohani.[8]
Al Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kerbersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap tuhan.
Adapun masalah kebahagiaan, menurut Al-Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi, yang biasa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk itu dilaksanakan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akhiratnya.[9]
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah). Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.[10]
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah , yaitu adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dan dengan pernyaksian hati yang sangat yakin (musyahadatul qalbi). Apabila sampai pada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.[11]





d.      Jiwa

BAB III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA



[1].  Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Karya Unipress. Hlm.135.
[2].  Hasyimsyah Nasution. filsafat islam. Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta. Hlm. 77-78
[3].  Ahmad Hanafi. Op., Cit. hlm. 139.
[4] . Hasyimsyah Nasution. Op., Cit., Hlm.78-79
[5] . Hasyimsyah Nasution. Op. Cit., hlm. 87.
[6] . Ibid.,
[7] . Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia Setia. Hlm. 240.
[8] . Ibid.,
[9] . Hasyimsyah Nasution. Op. Cit., hlm. 89.
[10] . Mustofa., Op., Cit., hlm. 241.
[11] . Ibid.,

Post a Comment

 
Top